DIGITALISASI DATA LAPANGAN DALAM
KONTEKS KERJA ETNOMUSIKOLOGIS
Muhammad Takari dan Mauly Purba
Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
1. Pendahuluan
Pada saat menulis makalah ini, kita semua para etnomusikolog ditinggalkan oleh sesepuh dan mahaguru kita Bruno Nettl. Untuk itu marilah kita berdoa semoga Nettl diterima di sisi Tuhan, amin. Masih dalam suasana konteks tersebut, pada tanggal 24 Januari 2020 ini, Program Studi Etnomusikologi, Institut Kesenian Jakarta, menyelenggarakan Seminar Seni dan Teknologi—yang mengundang beberapa narasumber, termasuklah kami berdua dari Etnomusikologi USU. Dalam kesempatan ini kami memilih tema teknologi digitalisasi data lapangan dalam konteks kerja etnomusikologis, dengan pertimbangan, disiplin etnomusikolgi lahir, tumbuh, dan berkembang berkat temuan-temuan dan perkembangan teknologi. Dalam konteks etnomusikologi sebagai disiplin ilmu budaya dan sosial sekaligus, maka teknologi adalah menjadi salah satu kajiannya sebagai salah satu unsur budaya, di samping agama, bahasa, seni, organisasi sosial, ekonomi, dan kesenian. Selain itu diskursus yang sedang hangat di seluruh dunia kini adalah yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 (yang kemudian direspon dengan Revolusi Kemanusiaan 5.0). Untuk itu, sebagai sebuah disiplin ilmu yang menjadi “nafas dan jantung” kita para etnomusikolog, maka sudah selayaknya kita memikirkan bagaimana mengarahkan dan mengaplikasikan disiplin etnomusikologi di era serba teknologi yang berorientasi ekonomi tersebut, masa kini dan masa depan.
Dalam mengisi dimensi waktu yang diberikan Tuhan kepada seluruh umat manusia, sesuai dengan perkembangan zaman terkini, maka oleh sebagian besar ilmuwan dipersepsikan bahwa kini kita berada dalam Revolusi Industri Keempat (4.0), yang ditandai dengan penggunaan secara massif teknologi berbasis teknologi informasi, dalam bentuk nyatanya mesin digital yang mampu memberikan kecerdasan buatan, yang perannya sangat menggeser peran manusia secara global. Diperkirakan 1,3 milyar dari 7,5 milyar tenaga kerja di seluruh dunia fungsinya digantikan oleh mesin-mesin ini.
Contoh nyata dari Revolusi Industri 4.0 ini adalah tersingkirnya para tenaga kerja manual pada jalan-jalan tol di seluruh dunia, karena adanya mesin digital yang mengatur keluar dan masuknya kendaraan secara otomatis. Demikian pula muncul berbagai alat transportasi yang berbasis digital seperti grab, gojek, gosend, gocar, sampai penjualan tiket dan boarding pass pada pesawat yang menggunakan teknologi digital ini. Tidak juga ketinggalan berbagai barang dagangan yang dengan mudah dapat dipesan melalui jaringan internet, dengan tersediaya layanan melalui laman web, menjadikan toko tanpa kantor, toko dengan sedikit operator, dan lain-lainnya.
Demikian pula di dalam dunia pendidikan, kita yang juga mau atau tidak, harus menerima sistem pendidikan yang menggunakan teknologi digital ini, secara massif pula. Misalnya kini setiap perguruan tinggi apakah di daerah, nasional, maupun internasional, sudah terbiasa menggunakan layanan web, dalam bentuk seperti jurnal-el, buku-el, e-learning, opencourseware (OCW), perpustakaan-el, tatap muka melalui video conference atau sejenisnya, repositori skripsi, tesis, disertasi, dan aspek-aspek digitalisasi sejenis. Sejak tahun 2019 dan terus ke depan, seleksi penerimaan mahasiswa baru di Indonesia, baik melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) maupun SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) menggunakan teknologi digital yang terhubung secara online, dan tentu saja mengurangi jumlah pengawas yang biasanya terdiri dari dosen dan pegawai. Demikian pula sistem ujian keterampilan olah raga dan seni, tidak lagi secara langsung, namun melalui portofolio. Itu konsekuensi dari kemajuan zaman.
Dalam konteks manusia dan musik, pada era ini ditandai dengan penggunaan teknologi digital untuk mencipta, mengkomposisikan, mempelajari, mempublikasikan, menikmati, mengapresiasi peradaban musik dari semua genre yang ada di seluruh dunia tanpa tapal batas. Penggunaan teknologi digital di bidang musik ini dimungkinkan selaras dengan perkembangan zaman. Produksi budaya musik baik dalam bentuk musik tradisi, populer, world music, jazz, reggae, disko, rock, dangdut, keroncong, seriosa, dan lain-lain dengan sekejap waktu dapat dinikmati melalui media seperti youtube, facebook, twitter, laman web, juga media-media streaming yang dapat menyiarkan musikal secara langsung. Bahkan dengan kemajuan teknologi terkini, penelitian musik dalam etnomusikologi yang sangat mengutamakan penelitian lapangan juga secara otomatis mengalami perkembangan. Kalau masa-masa awal perkembangan disiplin ini, wawancara atau pengamatan terlibat mesti langsung berada di tempat dan waktu pertunjukan musikalnya, maka kini melalui perangkat media seperti gadget, video telekonferensi, dan media streaming lainnya, jarak tidak menjadi kendala lagi. Peneliti dan informan atau narasumber dapat memanfaatkan teknologi ini bagi kepentingan komunikasi budaya dan perngembangan ilmu.
2. Kecenderungan Teknologi dan Masyarakat Kontemporer
Sehubungan dengan ilmu-illmu seni, termasuk etnomusikologi yang masuk ke dalam bak itu rumpun ilmu budaya dan sosial, serta perkembangan zaman masa sekarang ini, kita lihat berberapa fenomena berikut.
(a) Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi akan mempolarisasikan masyarakat di seluruh dunia pada abad ke-21 dan seterusnya ke dalam tatanan kehidupan yang kompleks, sarat dengan perubahan. Pada masa-masa ke depan ini, terjadi transisi menuju masyarakat informasi berteknologi maju (high technology) yang penuh dengan dinamika yang dicirikan oleh penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) secara intensif, massif, terkait secara global, infrastruktur yang terintegrasi, dan menuntut sumber daya manusia (SDM) yang kreatif dan inovatif;
(b) Abad ke-21 merjadi era partisipasi individu dan komunitas dalam memberikan kontribusi keunikan dan keunggulannya masing-masing untuk mencapai tujuan bersama berupa peningkatan kesejahteraan umat manusia. Setiap individu dan komunitas perlu mempertahankan identitasnya, yang bertujuan semakin menguatnya keanekaragaman dan peningkatan kualitas kehidupan;
(c) Pada dasa-dasawarsa mendatang akan ditandai oleh semakin terfragmentasinya permintaan, kompleksnya kebutuhan konsumen, dan meningkatnya tuntutan kualitas produksi untuk kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) akan menjadi salah satu kebutuhan yang sangat penting. Dalam hal peningkatan efisiensi untuk menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif dan bernilai semakin tinggi, harus dapat dicapai melalui kompetisi yang produktif, yang sarat dengan kreativitas dan inovasi.
(d) Manusia yang ada di kampung global, pada prinsipnya akan mencari identitasnya yang khas, semakin global dan sekaligus semakin lokal. Dalam hal itu, perbedaan kemampuan, potensi antarindividu dan kelompok dalam penguasaan ipteks, pemilikan modal, potensi sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia, dan kecenderungan manusia sejagad untuk lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok, merupakan tantangan yang perlu diatasi secara bijaksana agar tidak terjadi disharmoni sosiokultural;
(e) Masa depan akan diwarnai oleh terbentuknya tatanan dunia baru yang lebih mencerminkan realitas geopolitik, yang mendorong diperlukannya kerjasama internasional yang dapat mengendalikan kompetisi agar berlangsung terbuka, seimbang, dan produktif—sehingga peningkatan kualitas alam dan kesejahteraan umat manusia dapat terlaksana secara bersamaan dan kontinu. Jaminan terhadap hak azasi manusia (HAM), demokratisasi, peningkatan peran wanita, penciptaan peluang sosioekonomis kelompok masyarakat berkemampuan terbatas, dan upaya pelestarian lingkungan akibat semakin terbatasnya daya dukung ekosistem, merupakan hal yang perlu diberikan solusi secara komprehensif dan penuh kebijaksanaan.
Selaras dengan perkembangan ipteks tersebut, maka bagi kita yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan seni (terutama di tingkat PT) termasuk etnomusikologi, perlu pula mengikuti perkembangan zaman. Kemudian mampu menggunakan dan memungsikan dunia kesenian kita sebagai kekuatan peradaban.
Dunia pendidikan, yang dalam hal ini pendidikan seni pada perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, tentu tidak dapat memisahkan diri dari fenomena sosial, budaya, dan perkembangan ipteks di tengah-tengah masyarakat dunia. Bukan saja kurikulum yang harus senantiasa diperbaharui, tetapi juga adalah mencakup teori dan metode untuk ilmu-ilmu seni (termasuk etnomusikologi), perlu terus dikembangkan dalam konteks ruang dan waktu yang dilalui.
3. Seputar Etnomusikologi
Dalam sejarah perkembangan awal disiplin etnomusikologi, ditandai dengan pemaparan mengenai aspek ontologis disiplin ini, yang kemudian dikonversikan menjadi defenisi-defenisi oleh para pakarnya. Kemudian setelah itu para ilmuwan etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia disebut etnomusikolog, dalam bahasa Inggris ethnomusicologist, mengkaji dan mengkategorikan berbagai definisi tersebut, dan kemudian mencari generalisasi yang sebisanya diterima secara umum apa itu etnomusikologi.
Bruno Nettl dalam bukunya yang bertajuk Theory and Method in Ethnomusicology, 1964, diterbitkan di New York dan London oleh The Free Press of Glencoe. Tahun 2019 yang baru lalu buku ini diterjemahkan oleh Nathalian H.P.D. Putra yang diterbitkan oleh Ombak Tiga Yogyakarta, dengan judul Teori dan Metode dalam Etnomusikologi. Dijelaskan oleh Nettl secara ontologis bahwa mendefinisikan etnomusikologi bukan perkara yang mudah, ada perbedaan di kalangan etnomusikolog sendiri. Awalnya etnomusikologi adalah studi musik di luar peradaban Barat dengan pendekatan dua ilmu utama, yang disebut Nettl wilayah perbatasan antara musikologi dan antropologi (Netll, 2019:1).
Pakar lain, Merriam memerikan tentang apa yang dimaksud etnomusikologi sebagai berikut ini.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4). [1]
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memerlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.
Dalam komunikasi keilmuan di dunia virtual, definisi etnomusikologi yang menjadi rujukan umum, ditulis pada laman web Masyarakat Etnomusikologi (Society for Ethnomusicology dengan akronim SEM), yakni pada http://www.ethnomusicology.org sebagai berikut.
Ethnomusicology is the study of music in its social and cultural contexts. Ethnomusicologists examine music as a social process in order to understand not only what music is but what it means to its practitioners and audiences.
Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, area studies, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods:
1) Employing a global perspective on music (encompassing all geographic areas and types of music).
2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is interrelated with its social and cultural contexts).
3) Engaging in ethnographic fieldwork (observing and participating in music-making and related activities) and in historical research.
Ethnomusicologists work in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to diverse elements of social life and culture. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, theory and methods).
Ethnomusicologists are also active in public and applied work. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may document and promote music traditions or participate in projects that involve cultural policy, education, conflict resolution, health, environmental sustainability, arts programming, or advocacy on behalf of musicians. Ethnomusicologists often work with museums, archives, arts-presenting organizations, primary and secondary schools, media companies, and other institutions that promote the appreciation and understanding of the world’s musics.
For a partial international list of ethnomusicology programs in higher education, see our Guide to Programs in Ethnomusicology. See also our Career Resources in Public and Applied Ethnomusicology.[2]
Melalui penjabaran dalam laman web tersebut, etnomusikologi merupakan studi tentang musik dalam konteks sosial dan budayanya. Para ahli etnomusikologi memeriksa musik sebagai proses sosial, untuk memahami tidak hanya apa itu musik tetapi juga apa artinya musik tersebut bagi para praktisi dan khalayaknya. Dalam hal ini, etnomusikologi sangat interdisipliner. Individu yang bekerja di lapangan mungkin memiliki pengalaman keilmuan terlatih di bidang musik, antropologi budaya, cerita rakyat, studi pertunjukan budaya, tari, studi area, studi budaya, studi jender, studi ras atau etnik, atau bidang lain dalam sains humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metode berikut: (1) Menggunakan perspektif global tentang musik (mencakup semua wilayah geografis dan jenis musik). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang terkait dengan konteks sosial dan budayanya). (3) Terlibat dalam bidang etnografi (mengamati dan berpartisipasi dalam pembuatan musik dan kegiatan terkait) dan dalam penelitian sejarah.
hli etnomusikologi bekerja di berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka mempelajari musik dari bagian manapun di dunia dan menyelidiki hubungannya dengan beragam elemen kehidupan sosial dan budaya. Sebagai guru atau pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya tradisi musik sakral, musik dan politik, teori dan metode). Ahli etnomusikologi juga aktif dalam pekerjaan publik dan terapan. Bermitra dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mendokumentasikan dan memromosikan tradisi musik atau berpartisipasi dalam proyek yang melibatkan kebijakan budaya, pendidikan, resolusi konflik, kesehatan, kelestarian lingkungan, pemrograman seni, atau advokasi atas nama pemusik. Etnomusikolog sering bekerja pada museum, arsip, organisasi-organisasi penyaji seni, sekolah dasar dan menengah, perusahaan media, dan lembaga lain yang memromosikan apresiasi dan pemahaman musik-musik dunia.
Sesuai dengan definisi di atas, kemudian pendekatan saintifik yang interdisiplin, dan berbagai lapangan pekerjaan, maka sesuai dengan perkembangan zaman, maka disiplin etnomusikologi dan para etnomusikolog harus dapat menempatkan polarisasi dan kinerjanya dalam konteks perkembangan dunia. Termasuk perkembangan teknologi dan ekonomi di masa kini dan ke masa depan.
4. Penggunaan Teknologi pada Etnomusikologi dalam Ruang dan Waktu
Menurut penulis, penggunaan teknologi dalam konteks mengembangkan disiplin etnomusikologi diadopsi dari kecenderungan berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, sejarah, musikologi, dan antropologi. Untuk menganalisis musik dari perspktif ruang dan waktu manusia, maka pendekatan arkeologi dan sejarah digunakan dalam etnomusikologi.
4.1 Melacak Sejarah Peradaban Melalui Teknologi Ekskavasi
Arkeologi memang banyak juga bersinggungan dengan etnomusikologi. Sebagai bukti-bukti perhatian etnomusikolog di bidang arkeologi, adalah munculnya berbagai studi terhadap artifak-artifak alat musik yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan kuna di dunia ini. Misalnya saja penelitian terhadap alat musik lonceng yang terbuat dari batu yang disebut dowel, yang digunakan oleh masyarakat gereja Koptik di Etiopia, Afrika. Begitu juga alat musik klasifikasi lira, yang mempunyai sepuluh senar, berukuran relatif besar yang disebut bagana, yang dibuat oleh masyarakat agama Kristen Koptik Etiopia, yang direkonstruksi dari harpa yang dibuat oleh Nabi Daud.
Begitu juga alat musik harpa yang disebut chang yang terdapat di Persia (Iran sekarang), ditemukan berdasarkan ekskavasi arkeologis. Demikian pula harpa yang berbentuk melengkung, yang disebut vaji, yang dijumpai di Nurestan dan Asia Tengah lainnya, dapat direkonstruksi kembali berkat penelitian arkeologis. Di Mesir, berdasarkan penelitian arkeologis, abad ke-26 Sebelum Masehi, dijumpai para pemusik laki-laki memainkan berbagai jenis alat musik harpa, reed pipa, dan end blown flute panjang (Malm, 1977). Untuk kebudayaan secara umum, juga dikaji organisasi kebudayaan masyarakat China Kuna yang telah mulai tumbuh sejak 3000 tahun Sebelum Masehi. Ditemukan pula dinasti awal di China yaitu Dinasti Shang yang hidup antara tahun 1766 sampai 1122 Sebelum Masehi. Semua ini tidak lepas dari peranan arkeologi dalam disiplin etnomusikologi.
4.2 Etnografi Musikal
Dalam sejarah penelitian etnomusikologi, metodologi awalnya juga menggunakan pendekatan etnografi musikal, yang didahului studi etnografi dalam antropologi. Diadopsi dari proses kerja pada disiplin antropologi, etnografi musikal ini dilakukan melalui tatap muka sebagai bagian dari pendekatan pengamatan terlibat (observasi) dan deskripsi terhadap kebudayaan yang fokusnya adalah pada praktik-praktik musikal (Cooley, 2008:4). Pendekatan etnografi musikal ini sangat tepat untuk mengejar dan menggali makna-makna musikal, terutama bertumpu pada para narasumber kunci. Untuk kajian terhadap struktur musik (dalam dimensi nada dan waktu), pendekatan etnografi musikal harus dibantu dengan teknologi rekaman dan pentranskripsian.
Melalui teknik pendekatan etografi musikal, Amiot seorang misionaris Jesuit dari Perancis yang melakukan penelitian musik China pindah ke Beijing tahun 1751 sampai meninggal dunia pada tahun 1793. Setelah hampir tiga dasawarsa meneliti musik China, beliau baru menerbitkan buku tahun 1779, dengan tajuk Me´moire sur la musique des chinois. Etnomusikologi menjadi daya dorong bagi para ilmuwan musik Barat untuk meneliti budaya di luar budaya musik Barat.
4.3 Pengarsipan Rekaman Suara yang Dihasilkan Alat Gramofon dan Lainnya
Kemudian penelitian etnomusikologi era berikutnya semakin dimantapkan dengan penemuan teknologi rekaman melalui alat gramofon (fonogram) yang ditemukan oleh Thomas Edison, pada era separuh akhir abad ke-19. Demikian pula ditemukannya kamera film (motion picture camera), tahun 1887. Demikian pula pengukuran interval (teba) nada melalui sistem sent, dikembangkan oleh Alexander John Ellis (Cooley dan Barz, 2008:4). Teknologi suara ini mendorong perkembangan penelitian etnomusikologis, terutama untuk suara musikal menjadi lebih berkembang dan objektif. Terjadi dialog intensif antara kerja lapangan dan laboratorium. Data-data lapangan berupa rekaman audio menjadi sangat penting untuk berbagai kepentingan kerja etnomusikologis, seperti dokumentasi, analisis struktural, perbandingan struktural, dan lain-lain.
Para etnomusikkolog, dalam penelitian lapangannya menggunakan perekaman, baik dari sisi pertunjukan budaya musik, maupun wawancara dengan fokus perhatian pada fenomena masalah apa yang ditelitinya. Rekaman musik berupa audio di lapangan ini, selanjutnya diarsipkan pada lembaga baru. Lembaga-lembaga kearsipan musik tersebut menyimpan, memelihara, dan mengelola data lapangan berupa audio musikal ini. Seterusnya, untuk kepentingan saintifik, lembaga arsip musik ini mempersilahkan para peneliti yang tidak bisa langsung merekam peristiwa musikal di lapangan untuk menggunakan data rekaman musikal di lapangan yang telah disimpan tersebut. Terdapat beberapa ilmuwan etnomusikologi yang menggunakan data seperti ini. Misalnya Carls Stumpf, guru besar akustika dan psikologi pada Institute of Psychology di Universitas Berlin, dibantu asistennya Erich M. von Hornbostel dan seorang dokter medis Otto Abraham. Dalam perkembangan etnomusikologi, kemudian Hornbostel menjadi terkenal melalui kerja bersama Sachs dalam mengembangkan klasifikasi alat musik dunia, yang tetap menjadi rujukan utama sampai sekarang.
Para ilmuwan tersebut kemudian mendirikan sebuah lembaga kearsipan suara, yakni Berlin Phonogramm Archiv, dibangun 1901, yang dipimpin oleh Stumpf, dilanjutkan Hornbostel (1905–1933) yang kemudian melakukan kerjasama kelembagaan dengan Museum für Völkerkunde. Sesudah itu, lembaga pusat pengarsipan suara itu, menjadi bagian dari Ethnomusicology Department of the Museum of Ethnology, di Berlin. Tujuan lembaga arsip suara ini adalah untuk melakukan pengumpulan, preservasi, penelitian, dan publikasi tradisi musik dunia, musik non-Barat, yang terbesar di seluruh Eropa pada saat itu (Cooley & Barz, 2008:4).
Menurut uraian Nettl (2019:17), tempat arsip yang paling terkenal adalah Phonogramm archiv di Berlin, yang didirikan tahun 1900 oleh Stumpf dan Abraham, terutama untuk menyimpan silinder-silinder (cakram) yang dibawa oleh para etnolog Jerman. Selama beberapa dasawarsa, lembaga arsif ini berfungsi menjadi model bagi lembaga-lembaga arsip yang didirikan di tempat-tempat lain, khususnya di Amerika Serikat. Seseorang yang dahulu merupakan asisten di arsip Jerman, yakni George Herzog, membangun tempat arsip musikal di Universitas Columbia untuk koleksi-koleksi yang serupa pada 1948 dipindahkan ke Universitas Indiana. Sejak PD II, peran utama lembaga-lembaga arsip dipegang oleh lembaga pimpinan Herzog, yang dikenal sebagai Archives of Folk and Primitive Music, kemudian tahun 1954 dipimpin George List, dan oleh Archive of Folk Song di Library of Congress.
4.4 Teknologi Digital
Secara umum, pengertian teknologi digital dihasilkan oleh suatu alat yang tidak lagi menggunakan tenaga manusia secara manual, tetapi lebih pada sistem pengoperasian otomatis dengan sistem komputerisasi atau format yang dapat dibaca oleh komputer. Teknologi digital pada dasarnya hanyalah sistem penghitung sangat cepat yang memproses semua bentuk-bentuk informasi sebagai nilai-nilai numerik (kode digital).
Di sisi lain, teknologi komunikasi digital adalah teknologi yang berbasis sinyal elektrik komputer, sinyalnya bersifat terputus-putus dan menggunakan sistem bilangan biner. Bilangan biner akan membentuk kode digital (1 dan 0 berdasarkan adanya arus listrik atau tidak yang diatur oleh transistor). Kode digital tersebut nantinya akan diolah oleh komputer. Contohnya gambar kamera video yang telah diubah dari gelombang cahaya menjadi menjadi bentuk digital dalam bentuk pixel.
Perbedaan teknologi digital dan analog adalah sebagai berikut. Teknologi digital merupakan sistem penghitung sangat cepat dengan memroses informasi berupa kode digital atau nilai-nilai numerik (angka). Sebelum diproses, dibutuhkan sensor yang mengubah berbagai informasi nyata menjadi kode digital (contohnya adalah kamera digital). Kode digital yang dikirim sensor barulah akan diolah oleh komputer (mikroprosessor) yang di setiap alat digital pastilah ada. Dari hasil pengolahan data digital tersebut, informasi akan ditampilkan pada layar.
Teknologi analog pada dasarnya hanyalah alat yang sederhana dengan program tertentu yang sudah diatur dengan pengaturan tertentu, seperti komputer analog. Komputer analog pada dasarnya merupakan alat ukur yang biasanya digunakan pada mesin-mesin untuk memberikan sebuah informasi dan kendali otomatis. Kelemahan dari teknologi analog adalah tidak dapat mengukur dengan teliti dan membutuhkan waktu yang lama untuk memroses informasi. Contoh teknologi analog adalah telepon biasa (bukan ponsel pintar atau smartphone), sedangkan teknologi digitalnya berupa telepon yang menggunakan sinyal internet.
Teknologi analog dapat dikatakan merupakan teknologi peralihan dari teknologi mekanis ke teknologi digital. Teknologi mekanis lebih mengedepankan sistem-sistem mekanis atau manual. Pada teknologi mekanis, tidak diperlukan komputer atau mikroprosessor untuk mengatur dan mengoperasikannya karena sudah memiliki sistem mekanikal yang terstruktur. Kelemahan sistem mekanis ini adalah pengaturannya terbatas dan terdiri dari banyak bagian-bagian mekanik yang memerlukan perawatan khusus.
Perkembangan teknologi digital membuka era digital dan secara garis besar dilandasi fenomena teknologi, informasi, dan komunikasi pada 3 hal berikut.
- Lahirnya komputer pada tahun 1940 dan perkembangannya sejak saat itu,
- Lahirnya internet atau world wide web (www) pada tahun 1989,
- Lahirnya situs jejaring sosial (sosial media) pada tahun 1997 dan maraknya penggunaannya sejak tahun 2000-an.
Kelebihan teknologi digital adalah data yang dikirimkan dari satu tempat ke tempat lain tidak terpengaruh cuaca buruk dan noise karena data yang ditransmisikan dalam bentuk sinyal digital. Selain itu, berbagai tipe sistem komunikasi tersedia dan dapat digunakan. Biaya perawatan lebih rendah karena lebih praktis dan stabil.
4.5 Digitalisasi Data Hasil Penelitian Lapangan Etnomusikologis
Selaras dengan perkembangan zaman, yang salah satunya secara historis dipicu oleh perkembangan teknologi, maka disiplin etnomusikologi dan yang lainnya (baik humaniora, sosial, maupun saintek) terus berkembang pesat. Termasuk penggunaan data yang telah digitalisasi dari lapangan penelitian. Merekam dan sekaligus mendokumentasikan suara (audio), gambar visual, dan audiovisual, pada masa sekarang ini bukanlah pekerjaan yang memerlukan ilmu teknologi tingkat tinggi. Berbagai alat digital, umumnya selain merekam dan menyimpan data audiovisual, juga berkolaborasi dengan perangkat komunikasi dan infromasi seperti broadband, merupakan multimedia berkecepatan tinggi dan mampu menyalurkan data gambar, audio, video, dan komunikasi secara realtime melalui internet.
Melalui teknologi ini sebuah peristiwa budaya dapat dikirim, direkam dan ditampilkan langsung secara bersamaan melalui internet kepada pengguna yang memerlukannya di seluruh dunia. Pendekatan streaming sangat populer setelah jalur gelombang radio tertutup karena keterbatasannya. Lembaga-lembaga permuseuman, perpustakaan, dan kearsipan terkemuka dunia yang menyimpan harta kekayaan budaya ikut memanfaatkan koleksinya menjadi konten yang ditawarkan secara global. Pertarungan konten digital berlangsung di dunia maya. Sasarannya adalah para pengguna digital gadget, yang lazim disebut netizen sebagai komunikan.
Dalam proses komunikasi massa ini, netizen sebaliknya dapat menjadi komunikator, yang melakukan umpan balik dalam menyiarkan konten yang dimiliki. Proses komunikasi digital lainnya mereka mengunggah konten digital ke berbagai media sosial seperti youtube, twitter, facebook, instagram, dan lainnya. Siapa saja dapat menyiarkan konten yang berasal dari lokus kebudayaan yang unik, eksotik, dan menarik--baik dalam bentuk budaya sekuler atau sakral. Persaingan sehat tentang konten digital pada era streaming global, merupakan tantangan yang harus dijawab secara kontemplatif, kreatif, produktif, dan inovatif. Pada keadaan yang seperti ini, kekayaan kebudayaan Nusantara yang unik dan eksotik itu menjadi sangat signifikan untuk menjadi daya tarik kultural yang bisa dilihat para pengguna internet di seluruh dunia.[3]
Untuk dapat berkomunikasi dalam jarak yang jauh, masyarakat pada era sekarang ini lazim menggunakan berbagai media yang dapat membawa informasi digital. Di antara media digital itu adalah: (a) komputer yang merupakan hasil perkembangan teknologi dari mesin ketik, yang merupakan serangkaian sistem yang dapat melakukan digitalisasi informasi. Dengan adanya perangkat keras dan perangkat lunak, informasi yang masuk ke dalam komputer mengalami komputasi sehingga berubah menjadi format digital. Beberapa perangkat lunak yang dapat digunakan untuk digitalisasi informasi ialah software aplikasi pengolah presentasi atau Microsoft Power Point, software aplikasi pengolah kata atau Microsoft Word, dan software aplikasi pengolah angka atau Microsoft Excell (Effendi, 2003). Dalam penggunaannya, ketiga software ini bisa mengubah informasi analog menjadi informasi digital. Digitalisasi informasi dengan menggunakan komputer juga dapat didukung oleh peralatan tambahan seperti mesin pemindai atau scanner yang dapat menerjemahkan foto atau gambar di atas kertas yang bersifat analog, kemudian memasukkannya ke dalam sistem komputer dan mengubahnya menjadi gambar atau foto dengan format digital. Pendistribusian informasi digital dapat dilakukan melalui alat tambahan berupa flash disk atau dapat dilakukan secara langsung melalui intenet dengan menggunakan jaringan area lokal atau LAN maupun wi-fi.
(b) Telepon genggam atau telepon seluler, merupakan alat telekomunikasi pertama yang berkembang di dalam masyarakat. Bermula dari fitur sederhana melalui pertukaran suara, saat ini telepon genggam dapat menerima dan menghantarkan berbagai informasi digital seperti pesan teks, pesan suara, video, foto dan surat elektronik. Telepon genggam juga dapat melakukan digitalisasi informasi berupa foto, video, dan pesan suara. Masyarakat dapat merekam berbagai suara atau mengambil gambar dan video dari kejadian yang sedang berlangsung di sekitar mereka. Suara dan kejadian tersebut bersifat analog karena dapat dilihat dan dirasakan oleh panca indra manusia. Kemudian telepon genggam memasukkan suara dan kejadian tersebut ke dalam kotak penyimpanan atau storage, kemudian terjadi digitalisasi informasi di dalam telepon genggam tersebut. Selanjutnya rekaman suara dan rekaman kejadian yang sudah menjadi informasi digital tersebut dapat didistribusikan ke telepon genggam lainnya dalam format digital. Pendistribusian informasi digital dapat dilakukan secara langsung kepada telepon genggam yang lainnya dengan menggunakan bluetooth atau infrared, atau menggunakan peralatan tambahan seperti card reader yang dapat menerjemahkan isi memory card untuk kemudian mengirimkannya kepada sumber yang lain seperti komputer atau telepon genggam yang lainnya. Pengiriman informasi digital juga dapat melalui jaringan internet yang tersedia di dalam telepon genggam. Generasi Ketiga atau 3G memiliki kecepatan broadband sebesar 1-3 juta bit per detik, dan Generasi Keempat atau 4G memiliki kecepatan broadband sebesar 100 juta bit per detik (Straubhaar, 2001). Dengan kapasitas yang sangat besar, maka proses pengunduhan dan proses pengiriman atau pengunggahan akan berlangsung lebih cepat.
Dengan adanya digitalisasi informasi, berbagai informasi digital mulai tersedia di berbagai sumber, sehingga masyarakat lebih mudah untuk menjangkaunya seperti dalam bentuk berikut (Surachman, 2013).
- OPAC (Online Public Access Catalog), merupakan bentuk katalog yang diakses dalam jaringan internet, yang membuat masyarakat bisa menemukan informasi bibliografis mengenai koleksi katalog dalam bentuk analog maupun koleksi katalog dalam bentuk digital yang menjadi koleksi dari perpustakaan.
- E-Journal (Electronic Journal), merupakan jurnal yang diterbitkan di dalam jaringan internet dalam format digital, baik versi digital dari jurnal yang sudah pernah diterbitkan dalam bentuk analog maupun jurnal dalam bentuk digital yang dikhususkan untuk diterbitkan secara online.
- E-Book (Electronic Book), merupakan buku yang diterbitkan di dalam jaringan internet dalam format digital, yang berasal dari buku dengan format analog yang dipindahkan menjadi format digital, maupun buku yang dikhususkan untuk diterbitkan dalam format digital.
- E-Publications, merupakan sarana publikasi yang diproduksi dalam format digital seperti electronic cliping, electronic bulletin, electronic newsletter, dan electronic proceeding.
- Online Database, merupakan basis data yang menyediakan berbagai data untuk keperluan penelitian atau informasi yang didapat dari berbagai lembaga, institusi, dan perusahaan. Atau merupakan basis data yang berisi informasi dalam format digital berupa buku elektronik, artikel elektronik, majalah elektronik, laporan tahunan elektronik.
- Directories and Searches Tools, merupakan peranti lunak atau software yang dapat digunakan untuk melakukan pencarian sumber informasi yang disusun sedemikian rupa berdasarkan subjek atau topik tertentu, sehingga memudahkan masyarakat dalam melakukan pencarian informasi dengan penyajian informasi yang tidak sulit.
- Other Resources: Blog, Online Reference, Social Media, Online Gallery, Podcast Video Database, Online Mass-Media, merupakan berbagai bentuk jaringan internet yang menjadi sarana untuk memproduksi, mengubah, dan menyebarkan informasi digital lain yang merupakan perkembangan teknologi berbasis internet.
Berdasarkan arah atau polarisasi tersebut, maka salah satu kerja etnomusikolog adalah digitalisasi data-data hasil penelitian (terutama lapangan), selaras dengasn perkembangan teknologi digital. Berikut adalah pengalaman penulis sebagai etnomusikolog dalam proses kerja digitalisasi tersebut.
Penulis (Muhammad Takari) masuk menjadi mahasiswa Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara tahun 1984, yang diterima melalui ujian tulis melalaui seleksi Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kemudian dengan memenuhi berbagai persyaratan akademik, diterima menjadi mahasiswa. Para dosen adalah dosen Fakultas Sastra yang mengajar mata-mata kuliah fakultas, dan sebagian dari universitas yang mengasuh mata kuliah universitas. Khusus di bidang etnomusikologi, dasawarsa 1980-an belum menggunakan komputer. Tulisan tugas dari dosen masih menggunakan mesin ketik (dalam strata teknologi analog). Baru di era awal 1990-an digunakan komputer monokrom dengan mereek logitech, khusus untuk Program Studi Etnomusikologi saja. Komputer ini dipandang sebagai teknologi tinggi saat itu. Menggunakan sistem OS (Opeating System) dan printer model pita yang bekerjanya mirip dengan pita mesin ketik biasa. Progream pengolah kata adalah Wordstar (WS) dan berkembang juga mengikuti zaman. Spreatsheet menggunakan lotus atau simfoni. Cukup membantulah dari sisi praktisnya, mengetik tidak manual lagi memakai penghapus tip-ex, cukup diedit datanya melalui disket yang menyimpan data-data ketikan sebelumnya. Saat ini sudah juga ditemukan virus yang mengganggu data dan program aplikasi.
Yang paling awal kami jumpai pada internet adalah apa yang disebut e-mail (bahasa Indonesia surat-el). Setelah itu teknologi komputer terus berkembang, ditemukan pula sistem baru yang disebut windows. Pada Prodi Etnomusikologi, dikembangkan pula program peniruan bunyi interval, dari yang sifatnya interval yang diatonis berdasarkan sistem cent, yang diadopsi dari Alexander J. Ellis, sampai inetrval yang menggunakan satuan sent 50, seperti layaknya makam dalam musik Arab. Notasi masih ditulis tangan, dan kemudian difotocopy dilampirkan dalam karya ilmiah, terutama skripsi sarjana.
Di era 2000-an ditemukan berbagai perangkat lunak untuk membuat notasi, serta transkripsi musik. Ada beberapa software pilihan seperti sibelius, finale, bethoven, dan lain-lain. Era ini sudah masuk ke teknologi digital. Skripsi sarjana di tingkat universitas sudah dimasukkan ke dalam repositori, dengan cara memberikan file-file berisi data skripsi setiap babnya. Kini semua skripsi mulai era 2000-an di Prodi Etnomusikologi USU telah dimasukkan ke repositori skripsi pada laman repositori perpustakaan USU.
Selain itu, sejak 2010, Program Studi Etnomusikologi mengembangkan sebuah laman web pada http://www.etnomusikologiusu.com. Pada laman web ini dimuat data-data digital, terutama skripsi dan jurnal etnomusikologi. Selain itu juga memuat berita dan kegiatan Prodi dari tahun ke tahun. Selain itu, USU juga menyediakan laman web untuk prodi dengan alamat http://www.etnomusikologi.usu.ac.id. Ini merupakan rumah digital Program Studi Etnomusikologi FIB USU.
Proses digitalisasi dimulai dengan penguasaan setiap mahasiswa dan sivitas akademika terhadap teknologi informasi, melalui mata kuliah TI (Teknologi Informasi) dengan muatan praktik lebih diutamakan. Ada juga marta kuliah Musik dan Teknologi dengan tujuan utama membentuk kompetensi mampu membuat komposisi musik melalui alat-alat musik dalam program komputerisasi. Setelah itu ada juga mata kuliah teknik penulisan dalam etnomusikologi.
Digitalisasi lainnya adalah penelitian-penelitian lapangan di era 1980-an dalam format video yakni memakai video cassete Betamax atau VHS, sebahagian ditranfer ke dalam bentuk digital, seperti format mpg atau yang terkini mp4 dan lainnya, yang penting adalah untuk menyelamatkan data penelitian lapangan. Demikian pula sebagian rekaman musik atau wawancara musikal dalam data cassete dipindahkan ke dalam bentuk data digital audio. Namun demikian,tidak semua hasil penelitian tersebut terselamatkan, bahkan sebahagian besar rusak karena ketiadaan pembiayaan perawatan dan penyimpanan yang layak menurut standar perpustakaan dan arkaif.
Untuk skripsi-skripsi yang dihasilkan di era 1980-an dan 1990-an untuk mendigitalisasi digunakan sistem scan (pindai) melalui perangkat scanner. Namun sekali lagi keterbatasan tenaga dan dana menyebabkan tidak semua skripsidi era ini dapat digitalisasi, masih menunggu waktu lagi. Demikian pengalaman digitalisasi data lapangan kami pada Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Semua itu, kembali kepada pertanyaan aksiologis, untuk apa belajar etnomusikologi? Jawabannya adalah untuk manusia, bukan untuk teknologi atau ekonomi yang menjadi trend di Era Revolusi Industri 4.0 ini. Untuk itu perlulah dikondisikan literasi digital membentuk manusia yang berbudaya.
4.6 Literasi Digital Membentuk Manusia yang Berbudaya
Literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan setiap orang, yang secara menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk tujuan mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Setelah itu secara bersama membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat, terutama melalui media-media sosial (medsos). Literasi digital lebih cenderung pada hal-hal yang terkait dengan keterampilan teknis dan berfokus pada aspek kognitif dan sosial emosional dalam dunia dan lingkungan digital.
Elemen-elemen dasar literasi digital tersebut meliputi: partisipasi, mengakses, mengintegrasi, menganalisis, mengevaluasi, mengelola, mencipta, berkomunikasi, dan pemberdayaan semua unsur kebudayaan di dalam masyarakat.
Dalam perkembangan teknologi informasi, Banyak organisasi atau lembaga yang menggunakan istilah yang berbeda, seperti TIK/ICT (teknologi informasi dan komunikasi) standar, standar teknologi pendidikan, dan lain-lain. Kami menghbungkan istilah ini identik dengan standar pengetahuan digital.
Dalam konteks sosial dunia pendidikan kita, termasuk di Fakultas Ilmu Budaya, daripada berkutat dengan ganti menteri ganti kurikulum, yang berimbas kepada polemik panjang dan memakan dana triliunan, seharusnya pemangku jabatan mulai berpikir tentang mempersiapkan generasi yang paham dan menguasai digital. Untuk itu perlu lengkapi kebutuhan pendidikan dengan tools yang diperlukan, tingkatkan kemampuan dosen, mahasiswa, dan segenap sivitas akademika menggunakan ICT. Dibuat pula draft standar Mata Kuliah Teknologi Informasi lengkap dengan RPPS dengan mengacu pada standar ISTE (International Society for Technology in Education).
Para pakar pendidikan yang bersinergi dengan pemangku jabatan di bidang pendidikan Briitsh Columbia, propinsi paling barat Kanada, salah satunya telah mulai mengidentifikasi standar memahami dan menguasai digital untuk para pelajarnya. Standar ini mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang dibutuhkan untuk menjadi sukses di abad 21. Draftnya disusun mulai dari Taman Kanak Kanak sampai tingkat universitas. Tujuan mereka juga untuk mengidentifikasi bagaimana mendayagunakan teknologi sebagai pengajaran dan alat belajar secara tepat guna dan efektif.
Elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, adalah sebagai berikut. (1) Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; (2) Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten; (3) Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; (4) Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; (5) Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (6) Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru; dan (7) Kritis dalam menyikapi konten; dan bertanggungjawab secara sosial.
Prinsip dasar pengembangan literasi digital adalah: (a) Pemahaman untuk mengekstrak ide secara eksplisit dan implisit dari media. (b) Saling ketergantungan antara media yang satu dengan media yang lain. (c) Faktor sosial menentukan keberhasilan jangka panjang media yang membentuk ekosistem organik untuk mencari informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi dan akhirnya membentuk ulang media itu sendiri. (d) Kemampuan untuk menilai sebuah informasi, menyimpannya agar dapat di akses kembali.
Kerangka literasi digital Indonesia, berdasar kepada: (1) Proteksi (safeguard), yaitu perlunya kesadaran atas keselamatan dan kenyamanan pengguna internet, yaitu perlindungan data pribadi, keamanan daring serta privasi individu dengan layanan teknologi enkripsi sebagai salah satu solusi yang disediakan. (2) Hak-hak (right), yaitu hak kebebasan berekspresi yang dilindungi, hak atas kekayaan intelektual, dan hak berserikat dan berkumpul. (3) Pemberdayaan (empowerment), yaitu pemberdayaan internet untuk menghasilkan karya produktif, jurnalisme warga, dan kewirausahaan serta hal-hal terkait etika informasi.
Dengan melihat kecenderungan atau trend peradaban manusia, yang ditandai dengan perkembangan dan fungsi teknologi informasi secara cepat dan massif, maka sudah selayaknya arah budaya atau kebudayaan dalam perkembangan atau dimensi waktu. Untuk ini perlu dilihat dua sudut pandang, yang pertama adalah proses manusia mengisi hidupnya di era Revolusi Industri 4.0 dan Kemanusiaan 5.0 dengan satu ciri utamanya literasi digital. Yang kedua adalah bagaimana orientasi ideal kebudayaan di era ini.
Yang pertama, dalam era literasi digital terjadi proses-proses berikut. Teknologi digital mempermudah dan mempercepat akses komunikasi global, yang sebelumnya dideskripsikan sebagai globalisasi. Komunikasi ini membuat seluruh manusia terhubung dengan jaringan internet secara mendunia. Oleh karena itu komunikasi bisa dilakukan di manapun dan kapanpun. Dampak positif dari era literasi digital, khususnya bagi ilmuwan budaya atau orang yang suka dengan kebudayaan, akan memperoleh ilmu pengetahuan mengenai kebudayaan dari para pakar, buku-el, blog, web, dan sejenisnya baik secara cuma-cuma atau membeli secara langsung. Hasil karya ini juga dapat dijual atau dibisniskan secara online, melalui berbagai media yang tersedia, baik yang gratis atau berbayar. Dampaknya sangatlah berkembang ciptaan-ciptaan seni manusia.
Komunikasi langsung melalui media online juga dapat dilakukan oleh para penyair, budayawan, seniman, ilmuwan budaya di kalangan mereka, baik yang sifatnya formal atau informal. Dengan berdiskusi secara online maka mereka salaing memperoleh pengetahuan budaya.
Dampak yang baik lainnya adalah seorang pencipta seni misalnya sangat terbantu dengan ditemukannya berbagai perangkat lunak di bidang seni, yang hasilnya kemudian dapat didaftarkan secara online dan mendapatkan hak-haknya sebagai pencipta, komposer, koreografer, dan lainnya. Hasil seni ini kemudian diunggah melalui media seperti youtube, baik secara berbayar atau gratis. Dampkanya akan dapat menambah nilai ekonomis seniman dan pendidikan melalui seni dan media ini.
Bagi seorang etnomusikolog misalnya, dalam konteks menambah ilmu pengetahuan tentang musik dunia, ia cukup hanya menggunakan mesin perambah google dengan mengetik musik mana yang harus diketahui. Kemudian google akan mengarahkan kepada situs-situs yang memuat budaya musik dunia tersebut. Setelah itu pendalaman makna, struktural, dan fungsional barulah turun ke lapangan penelitian. Masih banyak lagi dampak positif dari literasi digital ini. Namun setiap perubahan baik secara revolusi maupun evolusi tetap akan menyisakan dampak buruk.
Dampak buruknya setiap individu cenderung menghabiskan sebagai waktunya di depan gadget atau laptop dan komputer, untuk berkomunikasi. Dalam hal ini kita selalu mendengar bahwa era digital menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Ini telah menjadi fenomena global.
Selain itu, tradisi malas merasuki kita semua. Jika diberi tugas oleh dosen misalnya, sorang mahasiswa yang malas akan cukup mencari melalui internet tema tulisan apapun. Kemudian dicopy dan dipastenya tanpa mengedit atau mengelola menurut bahasa sendiri. Ini akan mengurangi daya kritis dan kreativitas dalam keilmuan termasuk ilmu-ilmu budaya.
Seterusnya berbagai siuis yang berkonten negatif juga dengan lelauasa dapat dilihat setiap waktu. Bukan hanya ketika bekerja, belajar, beraktivitas seharian, tetapi juga ketika di ruangan kamar menjelang tidur, setiap orang dirasuki konbten-konten negatif ini, dalam bentuk-bentuk seperti pornografi, kekerasan gender, kekerasan seksual, perdagangan manusia, penipuan, terorisme, dan lain-lain. Dampaknya seseorang dapat terikut dalam pusar arus kejahatan yang telah mengglobal sifat dan jangkauannya.
Dengan melihat situasi literasi digital yang seperti di atas, sudah selayaknya kita sebagai manusia, menapis (menyaring) semua isi yang terdapat di dunia maya (virtual), agar tidak terjerumus dalam kejahatan-kejahatan yang dimulai dari individu, kelompok, dan kemungkinan besar jaringan internasional.
Kemajuan teknologi informasi semestinya mendukung kepentingan manusia untuk sejahtera dan mendasarkan diri pada perdamaian. Kemajuan teknologi bukan untuk menguasai atau menjajah sesama manusia di dunia ini, tetapi adalah untuk kemaslahatan bersama. Demikian uraian ini, wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi
Banyumurti, Indriyatno (2018). Antisipasi Hoaks. Jakarta: Bayumurti.
Barz, Gregory F, and Timothy J Cooley, (eds.) (2008). Shadows in the Field: New Perspectives for Fieldwork in Ethnomusicology. 2nd ed. NewYork: Oxford University Press.
Dominick, J.R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age. McGraw-Hill, International Edition
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya
ICT Watch (2017). Kerangka Literasi Digital Indonesia. Jakarta: ICT Watch.
Lankshear, Colin dan Michele Knobel (2008). Digital Literacies: Concepts, Policies and Practices. NewYork: Peter Lang.
Nettl, Bruno (1964). Theory and Method in Ethnomusicology. New York dan London: The Free Press of Glencoe. Juga terjemahannya Nettl, Bruno (2019). Teori dan Metode dalam Etnomusikologi (diterjemahkan oleh Nathalian H.P.D. Putra). Yogyakarta: Ombak Tiga.
Santoso, Anang Dwi (2019). Buku Desa Cerdas. Yogyakarta: Universitas Gadjah Maada Press.
Straubhaar, J., LaRose, R., dan Davenport R. (2001). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology. Thomson-Wadsworth
Surachman, Arif (2013). Strategi Penelusuran Informasi. Makalah Bimtek Perpustakaan Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Supanggah (ed.) (1995). Etnomusikologi. Surakarta: Masyarakat Seni Pdertunjukan Indonesia.
William P,. Malm, 1977. Music Cultures of The Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Juga terjemahannya dalam bahasa Indoensia. William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia. (Dialihbahasakan oleh Muhammad Takari). Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
[2] Lihat pada laman web SEM, https://www.ethnomusicology.org/page/AboutEthnomusicol
[3]Lihat juga tulisan Rizaldi Siagian pada https://medium.com/@rizaldisiagian/mendokumentasikan-aset-budaya-lewat-teknologi-media-sebuah-catatan-kecil-etnomusikologi-untuk-9f0ee456a977